SUMBER : RIAUPOS.CO
Posmeranti.Riau Pos Online - Maraknya pemberitaan kepala daerah
yang beristri lebih dari satu mendapat sorotan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Agama.
Praktik poligami dinilai bisa memberikan contoh buruk bagi masyarakat, dan menghambat program keluarga berencana yang dicanangkan pemerintah. Apalagi dilakukan melalui pernikahan siri alias diam-diam, bisa dikategorikan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan.
Masih hangat dalam ingatan masyarakat, betapa kasus perkawinan siri Bupati Garut Aceng HM Fikri banyak dikecam berbagai kalangan.
Praktik poligami dinilai bisa memberikan contoh buruk bagi masyarakat, dan menghambat program keluarga berencana yang dicanangkan pemerintah. Apalagi dilakukan melalui pernikahan siri alias diam-diam, bisa dikategorikan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan.
Masih hangat dalam ingatan masyarakat, betapa kasus perkawinan siri Bupati Garut Aceng HM Fikri banyak dikecam berbagai kalangan.
Aceng menjadi pembicaraan publik dan isu utama di beberapa media massa terkait perceraiannya dengan Fani Oktora, wanita berusia 18 tahun yang dinikahinya secara siri pada Juli 2012.
Kementerian Dalam Negeri menilai, perbuatan Bupati Garut melanggar pasal 27 F, dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Selain itu, Aceng dianggap tidak patuh dan taat kepada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tepatnya pada pasal 2 ayat 2, yakni setiap perkawinan harus dicatatkan.
Sebelum Aceng, poligami kepala daerah yang juga heboh diberitakan adalah kasus Wali Kota Bogor Diani Budiarto. Pria berusia 56 tahun itu menikahi Siti Indriyani, gadis berusia 19 tahun yang baru lulus SMA. Bagi Siti, perkawinan yang dilaksanakan pada Juni 2011 merupakan pertamanya, tapi bagi Diani perkawinan ini yang keempat kalinya.
Bupati Cirebon, Dedi Supardi juga pernah kesandung kasus poligami dengan pedangdut Melinda. Kasus ini mencuat bersamaan Dedi ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BKKBN, Uung Kusmana mengatakan, perilaku kepala daerah yang berpoligami menjadikan contoh buruk bagi masyarakat, dan menghambat program keluarga berencana yang dicanangkan pemerintah.
“Kami mengimbau kepada kepala daerah dan pejabat negara lainnya memberikan contoh keluarga yang berkualitas,” katanya di Jakarta, kemarin.
Kasus poligami rentan terjadi keretakan di keluarga. “Sangat disayangkan pejabat daerah dan publik figur melakukan poligami, apalagi caranya tidak benar. Kalau alasannya agama, kenapa yang dipilih selalu wanita-wanita muda, bukannya janda-janda,”
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, saat ini Indonesia memiliki 530 kepala daerah yang terdiri, 33 Gubernur, 98 wali kota, dan 399 bupati.
BKKBN mencatat, terdapat satu persen dari seluruh jumlah kepala daerah di Indonesia yang terbukti melakukan poligami.
Meski jumlahnya sedikit tapi pasti membuat resah masyarakat dan bisa menjadi contoh negatif. “Itu yang mencuat ke permukaan. Kami tidak tahu yang belum terekspos.”
Bila praktik poligami melalui pernikahan siri di kalangan pejabat negara tidak segera ditangani, dampaknya berpengaruh terhadap pembangunan bangsa.
Awalnya berpengaruh terhadap ketahanan keluarga. Bila ketahanan keluarga rapuh, maka berpengaruh kepada ketahanan masyarakat.
Selanjutnya, ketahanan masyarakat yang rapuh membuat rapuh ketahanan nasional, dan berpengaruh terhadap bangsa dan negara.
“Ini sama saja tidak mendukung program pemerintah. BKKBN selalu mengimbau kepada masyarakat agar memperkuat ketahanan keluarga yang merupakan pondasi utama ketahanan nasional.”
Terpisah, Kepala Humas Kementerian Agama, Zubaidi prihatin dengan perilaku kepala daerah yang melakukan nikah siri.
Meski setiap agama memiliki tata cara dan ketentuan tentang perkawinan, namun dalam perspektif negara, perkawinan itu harus dicatatkan secara resmi berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Secara peraturan, jelas nikah siri melanggar Undang-undang,”
DPRD Berhak ‘Pecat’ Kepala Daerah
Kementerian Dalam Negeri akan mengusulkan kepada Presiden agar diberi kewenangan melakukan pemecatan terhadap kepala daerah yang terbukti melakukan perbuatan tercela.”Usulan itu masuk dalam draf revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah.”
Saat ini kewenangan memberhentikan kepala daerah bermasalah sepenuhnya berada di tangan DPRD. Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah membuat pemerintah pusat kehilangan kontrol terhadap pemda.
Mendagri sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan, instrumen, dan perangkat untuk menertibkan kepala daerah yang telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tercela. Agar tafsir tidak melebar dan bias, nantinya akan dirumuskan aturan tentang batasan tindakan asusila, amoral, dan perubatan tercela.
“Jangan karena dipilih langsung merasa bisa berbuat sesuka hati. Akuntabilitas dan keadilan masyarakat yang harus dijaga,” kata Reydonnyzar MoenOek, Kapuspen Kemendagri.
Pernikahan siri di kalangan kepala daerah masuk kategori pelanggaran terhadap sumpah jabatan sebagaimana diatur UU No 32/2004, PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, serta UU No 1/1974 tentang Perkawinan. “Dalam kasus Bupati Garut, yang bersangkutan berpotensi diberhentikan.”
Banyak beredar kabar kepala daerah yang melakukan nikah siri, hanya saja yang terungkap dan bisa ditangani sejauh ini baru Bupati Garut. “Memang nikah siri juga dilakukan kepala daerah lain, tapi kita tidak bisa langsung menuduhnya karena tidak ada bukti.”
Menjatuhkan Wibawa Di Depan Masyarakat
Kalangan DPR menyayangkan adanya kepala daerah yang berpoligami. Saat ini perilaku beristri lebih dari satu masih menjadi kontroversi di Indonesia.
“Meski tak ada yang dilanggar, tapi poligami itu masih kontroversi yang memungkinkan menjatuhkan wibawa kepala daerah di hadapan warganya,” kata Abdul Wahab Dalimunthe, Anggota Komisi II DPR
Aturan larangan poligami pernah diterapkan bagi pejabat dan PNS. Tapi, setelah orde baru tumbang, kemudian dicabut. Saat ini sanksinya hanya dari masyarakat. “Tidak hanya kepala daerah, tapi pejabat publik lainnya-pun jika poligami maka dicibir masyarakat.”
Selama kepala daerah yang berpoligami itu mencatatkan di Kantor Urusan Agama dan mendapatkan izin dari istri pertamanya, maka secara aturan tidak bisa disalahkan. “Tapi, bila pejabat publik itu tidak mencatatkan nikahnya di KUA, maka sudah melanggar aturan.”(rmol/jpnn)
0 komentar:
Catat Ulasan